S |
elama di Korea, aku jarang kontak dengan Jorge. Yaa, karena kami berdua memang sibuk dengan tugas masing-masing. Aku dapat beasiswa di Jepang selama 3 tahun dan Jorge juga dapat beasiswa selama 3 tahun, tapi bukan di Jepang. Dia di London. Andai saja aku sama dia dapat beasiswa nya di Jepang atau nggak di London, pasti kita berdua nggak terpisah begini dan juga nggak susah-susah cari waktu buat komunikasi.
Aku di Korea dapat beasiswa di bidang kebahasaan. Disini aku dapat pengetahuan 2 bahasa. Bahasa Jepang dan Korea. Aku memang memilih bidang kebahasaan, karena aku dari dulu suka dengan dunia bahasa. Sayangnya, dunia kesukaanku dan Jorge berbeda. Jorge lebih suka dunia teknologi, maka dari itu dia dapat beasiswa di London, karena katanya, di London dunia Teknologinya lebih luas dan canggih.
3 tahun terpisah bukan waktu yang sebentar. Selama di Korea, banyak tantangan. Di kuliah Jepang, kebanyakkan cewek dan cowoknya bukan orang Korea. Tapi, orang Indonesia. Dan disini, cintaku di uji. Aku bertemu sama cowok, kelihatannya dia atasanku. Karena setiap buku yang dia bawa waktu bertemu denganku, itu bukan buku yang sejurus denganku.
Semuanya berawal waktu aku dari perpustakaan. Aku pinjam 3 buku dari perpustakaan kampus, karena takut salah buku yang aku pinjam, dijalan aku mengececk satu persatu cover buku itu. Otomatis pandanganku nggak kedepan. Pandangan fokus ke buku-buku yang aku pinjam Dan… Disitu lah aku bertemu dengan dia.
Aku dan cowok itu nggak sengaja bertabrakan. Buku-buku yang aku bawa, jatuh semua dan buku yang dia bawa pun juga jatuh semua. Aku langsung menunduk untuk merapikan buku-buku yang jatuh itu. Karena saat itu rambutku aku gerai, aku kibaskan rambutku, karena rambut menghalangiku memungut buku yang jatuh. Waktu rambut terkibas, aku nggak sengaja melihat cowok itu. Tatapan kedua matanya memandangku aneh. Dia melamun dan bengong waktu aku menatapnya.
“Permisi.” ucapku menyadarkannya.
“Oh, iya. Sorry.” balasnya.
Aku berdiri dan membawa buku-buku yang tadi berantakan. Nggak lama, cowok itu juga berdiri dengan buku yang dia bawa tadi.
“Kamu nggak pa-pa?” tanyanya.
“Nggak pa-pa, kok.”
“Sorry, ya. Aku tadi nggak sengaja nabrak kamu.”
“Iya, nggak pa-pa. Aku juga minta maaf, aku tadi nggak lihat-lihat waktu jalan.” aku melihat jam tangan, “Permisi, ya. Aku duluan.” Aku lari tergesa-gesa dan meninggalkan dia ditempat. Aku lari menuju depan jalan raya depan kampus dan… tepat dugaanku.
“Sorry.” ucapku dan masuk mobil.
“Telat lagi?” tanya Akashi.
“Aku tadi nggak sengaja tabrakan sama anak. Terus, bukuku berantakan.”
“Ya sudah. Kita pulang?”
“Makan dulu, ya? Aku lapar.”
“Baiklah.” Akashi menyetujui.
Akashi adalah temanku semasa SMP waktu di Indonesia. Yang sekarang tinggal di Korea. Akashi tinggal di Korea karena perusahaan papanya yang di Indonesia terbakar dan papanya juga rugi besar. Akhirnya dia ikut papa dan mamanya pindah ke Korea.
Aku tinggal dirumah Akashi, tapi rumah ini adalah rumah Akashi sendiri. Papanya sudah tiada dan mamanya sekarang tinggal di Jepang dengan kakek neneknya. Karena tidak ada yang meneruskan usaha papanya, akhirnya dia yang meneruskannya dan rumah di Korea, sekarang hanya dia yang menempati.
Karena Akashi memang anak cowok yang pintar dan cerdas, setelah kelas 2 SMA, dia langsung turun ke dunia usaha papanya. Akashi tidak perlu meneruskan sekolahnya ke kelas 3 SMA, karena sekolah di Korea sudah memberikannya keputusan untuk melanjutkan atau turun ke dunia papanya. Dan kepetusan Akashi adalah turun ke dunia papanya. Sekolah memberi keputusan itu karena IQ Akashi sangat tinggi bahkan melebihi IQ kelas 3 SMA disini.
Dirumah Akashi hanya ada aku dan dia. Setiap pagi, aku memasak untuk kita berdua breakfast. Kalau siang atau sore, aku dan Akashi beli makanan diluar rumah dan kalau malam, Akashi yang memasak.
1 jam perjalanan dari kampus ke rumah Akashi. Karena aku lapar, aku dan Akashi ke restaurant dekat rumah Aksahi, dimana aku dan Akashi sering makan siang disana.
Selesai lunch, aku dan Akashi pulang. Dan karena lelah, aku langsung tertidur tanpa ganti baju dulu.
Jam 09.00 malam, Akashi masuk ke kamarku dan membangunkanku.
“Jasmine, bangun.”
“Eh, kamu. Ada apa?”
“Sorry bangunin kamu. Kamu mandi gih, terus ganti baju. Dari pulang tadi kamu langsung tidur.”
“Jam berapa?” tanyaku masih setangah merem melek.
“09.00.”
“HAH?! Oh my god! Aku harus ngerjain tugasku.” aku langsung bangun dan mengambil buku yang aku pinjam dari perpustakaan tadi.
“Mau kemana? Mandi dulu biar seger, baru kerjain tugas. Nanti aku bantuin.” ucap Akashi, menarik tanganku.
“Kamu bener. Ya udah kalau gitu, kamu keluar dulu. Aku mau mandi. Nanti aku kekamarmu.”
“Baiklah.”
Aku langsung mandi. Selesai mandi aku kekamar Akashi dengan membawa buku-buku yang aku pinjam dari perpustakaan tadi.
“Sorry, lama.”
“Nggak masalah. Udah siap?”
“Sudah.” aku meletakkan buku-buku yang aku pinjam diatas meja kecil dikamar Akashi. Aku periksa satu persatu buku yang aku pinjam.
“Kenapa?”
“Bukunya ada yang hilang satu.”
“Hilang? Kok bisa?”
“Nggak tau.
“Mungkin ketuker sama cowok tadi.”
“Terus gimana?” ucapku mulai gelisah.
“Kita kerjakan yang lain.” usul Akashi.
“Nggak bisa, Shi. Buku yang aku pinjam, itu buku yang harus aku kerjakan tugasnya. Soalnya besok udah harus selesai.”
“Waduh, besok?”
Aku mengangguk.
“Udah nggak pa-pa. Kita kerjakan tugas-tugas yang lain aja. Biar besok-besok nggak ada tugas kamu.”
“Iya sih, kamu bener. Iya udah, kita kerjakan yang ini aja.”
Akashi membantuku mengerjakan tugas-tugas kampusku. Entah sampai jam berapa aku mengerjakannya. Tapi, waktu aku membuka mata. Aku ada dikamar Akashi dan aku lihat, dia tidak ada dikamar. Aku keluar dari kamarnya, mencarinya. Waktu aku lihat ada makanan ruang makan, aku jadi merasa nggak enak hati.
“Sudah bangun?”
Aku menoleh kebelakang. Ternyata Akashi, ”Sorry, ya. Aku nggak masak buat breakfast kita.”
“Nggak pa-pa. Aku tau kamu kecapekan, buktinya tadi malam kamu tertidur diatas meja dengan keadaan buku masih berantakan. Jadi, aku tidurkan kamu dikasurku dan aku tidur dikamarmu.” jelasnya, “Breakfast udah siap, lebih baik kamu mandi dan sikat gigi sampai wangi dan bersih. Terus berangkat.”
“Iya, ya.” Aku langsung mandi dan setelah itu menyiapkan buku-buku yang aku pinjam dari perpustakaan dan membawa buku yang tertukar dengan cowok kemarin.
Akashi sudah menungguku didepan rumah. Dia selalu tersenyum setiap aku masuk ke mobilnya. 30 menit akhirnya aku sampai di kampus. Aku keluar dari mobil Akashi, tapi Akashi tidak langsung pulang.
“Kenapa kamu? Nggak langsung pulang?”
“Apa kamu nggak merasa ada yang tertinggal?”
“Lengkap semua, kok.” ucapku sambil mengececk barang bawaanku.
“Ini.” kata Akashi menyodorkan buku.
“Oh, ya. Aku lupa. Thanks, ya.”
“No problem. Kalau gitu aku pulang dulu, ya. Aku nanti jemput kamu agak telat. Ada urusan dikantor.”
“Oke, nggak pa-pa.”
Aku masuk ke kampus, dengan buku yang aku bawa. Aku berpikir untuk mengembalikan buku ini dulu ke perpustakaan. Aku lihat jam tangan, “Sudah buka.” ucapku. Aku berjalan santai ke perpustakaan.
Aku masuk ke perpustakaan. Mencari rak buku yang aku pinjam kemarin. Tapi, aku hanya mengenmbalikan 2 buku. Karena yang satu, mungkin masih di cowok kemarin yang bertabrakan denganku. Aku sudah mengembalikan buku, masuk kelas. Aku lihat jam tangan, “Belum masuk.” Karena jam masuk hari ini mundur, jadi aku putuskan untuk keliling mencari buku buat aku pelajari lagi.
Waktu aku di rak buku tentang sejarah-sejarah negara, aku tertarik dengan buku yang satu itu. Tapi, bukunya ada diatas. “Ahhh, waktu aku suka bukunya, bukunya ada diatas. Kalau aku nggak suka, ada dibawah. Huuh.” gerutuku. Aku pun berusaha untuk mendapatkan buku itu, loncat-loncat semaksimal mungkin. Tapi…
BRUK!!!
“Aduh…” teriakku. Aku jatuh dilantai, dan buku-buku berserakan.
“Sorry sorry.” ucap seseorang. Dia mengulurkan tangan padaku, aku mengangkat kepala. “Aku bantu.”
Aku menangkap uluran tangannya, aku berdiri dengan bantuannya. Merapikan bajuku yang terlipat karena terjatuh.
“Nggak pa-pa?”
“Kamu, kan?” ucapku bingung.
“Loh, kamu kan yang…”
“Kita kalau ketemu kok nggak bener, ya?” ucapku, melepaskan tangan dari genggamannya.
“Maksudnya?”
“Kemarin kita ketemu gara-gara tabrakan, dan sekarang…”
“Aku yang nabrak kamu.”
Aku melirik buku yang dibawanyaa ditangan kirinya, “Eh, waktu itu kita tabrakan. Kayaknya buku kita tertukar.”
Dia melihat buku yang ada ditangan kirinya, “Oh, iya. Aku lupa. Ini bukumu.”
“Thanks.” aku menerima buku yang disodorkan ke aku. “Oh iya, ini bukumu.”
“Sorry, ya.”
“Sudahlah, nggak pa-pa kok.” diam sejenak, “Ari.”
“Jasmine.” membalas uluran tangannya.
“Nama yang bagus. Pantas untukmu.”
“Thanks.” balasku melepas jabatan tangan.
“Aku nggak pernah lihat kamu.”
“Oh, mungkin kita beda tahun. Aku sudah setahun disini.”
“Oh, berarti kamu diatasku.”
“Berarti kamu baru? Bidang apa?”
“Iya, baru beberapa bulan. Kebahasaan.” aku melihat jam tanganku, “Sorry. Aku duluan. Bye…” Aku meninggalkan Ari, oh… Maksudku kak Ari. Karena jam sudah menunjukkan jam masuk.
Seperti biasa, aku mengikuti materi dengan santai tapi serius. Hari ini rasanya ada yang janggal. Aku lihat jam tangan. Ternyata benar. Jam masuk telat dan jam usai materi lebih awal. “Hari ini hari apa, sih? Jam masuk telat, jam usai cepet.” batinku. Niatnya mau tanya sama dosen kenapa masuk telat terus jam usai cepet, tapi…
“Aduh…” teriakku. Waktu keluar dari kelas, sampai di ambang pintu. Tanganku ditarik, entah sama siapa. Aku menoleh kea rah seseorang yang menarik tanganku, “Loh?”
“Sorry, ya? Narik paksa.”
“Nggak pa-pa.” balasku lirih, melirik ke arah tangan cowok itu mencengkeram lenganku.
“Sorry.” ucapnya, melepaskan cengkeramannhya dari lenganku.
“Ada apa, kak?”
“Jangan panggil, kak. Aku tua banget dimatamu.”
“Terus?”
“Panggil Ari aja. Ok?”
Aku mengangguk, “Kenapa narik aku kesini?”
“Mau keluar nggak?”
“Keluar?”
“Cuma jalan-jalan aja. Nanti aku traktir deh. Mau, ya?”
“Bukannya nolak, tapi kita kan baru kenal.”
“Yaah.” ucapnya kecewa, “Aku janji nggak bakal jahatin kamu. Bener.”
“Kalau kamu jahatin aku, apa balasannya?”
“Apa ya?” diam sejenak, “Bunuh aja aku.”
“Kak Ari!” teriakku, “Eh, maksudku. Ari!”
“Bercanda. Kalau aku jahatin kamu, balasannya. Laporin aja ke polisi.”
Aku memandangnya bingung.
“Ahh, kelamaan. Ayo!” suddenly, tangannya menggandeng tangan. Menarikku sesukanya.
Aku nggak tau dibawa kemana sama Ari. Aku naik mobilnya dan mobil berjalan keluar dari lapangan kampus. Aku mau telfon Akashi, tapi tadi pagi dia bilang akan jemput aku telat. Ada urusan dikantornya. Jadi, aku batalkan ide itu.
Waktu aku sadar dari pemikiran itu, aku menatap Ari.
“Kok berhenti?” tanyaku.
“Masuk, yuk! Ada sesuatu yang mau aku kasih tau ke kamu.” ucapnya. Membuka seatbelt nya.
Aku diam. Melihat apa yang ada didepan pandangan mataku sekarang ini.
“Ayo!” ucap Ari lagi. Aku tersadar waktu dia berkata dan sudah ada disamping kiriku, membuka pintu mobil.
Aku keluar dari mobil dengan bantuan Ari. Aku masih bingung, heran dan pikiranku dipenuhi dengan pertanyaan yang harus djawab.
“Kita masuk dulu. Aku jelaska didalam.” ucapnya lagi.
Aku dan Ari sudah masuk ke dalam. Aroma itu asing di hidungku.
“Kenapa kamu bawa aku kesini?” pertanyaanku bagaikan angin yang bertiup di tubuh Ari. Dia hanya tersenyum, sempat berhenti dan meneruskan jalan lagi. Aku hanya mengikuti langkah kakinya. Menaiki anak tangga yang setengah sudah rapuh, dan warna anak tangga itu hitam.
Kalau dilihat dari depan sepertinya tempat ini sudah lama terbakar. “Tapi, kenapa Ari membawaku kesini? Apa hubungannya aku dengan tempat ini?” itulah salah satu dari beribu pertanyaan yang ada dipikiranku saat ini.
Langkah Ari berhenti waktu sampai di sebuh ruangan yang… Sudah sangat hancur, hanya ada sisa-sisa benda yang setengah terbakar dan setengah tidak terbakar.
“Sampai.” ucap Ari lirih. Melepaskan genggaman tangannya dari tanganku.
“Sampai. Sekarang, kamu jelaskan sama aku. Apa maksudnya kamu bawa aku kemari, Ari?” ucapku memaksa Ari untuk menjawab pertanyaanku. Tanpa aku sadari bagaiman kondisi Ari sekarang. Tubuhnya melemas, ekspresinya sedih, padahal tadi waktu dimobil, wajahnya biasa saja. Tapi kini, berubah drastis.
“Baiklah.” ucapnya mengempaskan diri disebuah kursi yang sudah terbakar tapi masih kuat di duduki dengan tubuh Ari yang setinggi itu.
“Ari, you ok?” tanyaku pelan. Perlahan aku mendekatinya, berlutut didepannya. Dan aku melihat ada sinar yang berlinanga di pelupuk matanya. Dia menangis. “Ari?” ulangku. Tapi, tidak ada jawaban. Perlahan aku menghapus air matanya, dan…
“Jangan pergi lagi, Jennifer.” Ari langsung memelukku. Erat, bahkan sangat erat.
“Ari, aku Jasmine. Bukan Jennifer.” ucapku membenarkan ucapnya tadi.
Ari melepaskanku dari pelukannya, “Sorry.”
“Ada apa sebenarnya?” tanyaku lirih.
Terdengar Ari menarik nafas panjang dan menghembuskannya berat. Dia menatapku. “Kamu… Kamu mirip sekali dengan dia.”
“Dia? Siapa?” tanyaku bingung.
Ari bangun dari kursi yang dia duduki tadi. Dia membantu bangun. Menarik nafas yang sama seperti tadi. “Jennifer.”
“Siapa dia?”
“Jennifer itu gadis yang ramah, cantik, baik, pandai, dia selalu di segani disini, disekolah ini, di SMA ini. Dia selalu mendapatkan rangking pertama dari waktu SD sampai SMA.”
“Kamu kenal sama Jennifer?”
“Lebih dari kenal. Orang tuaku dan orang tua Jennifer adalah partner kerja. Karena orang tuaku selalu mengajakku ke rumah Jennifer waktu aku masih kecil, jadi aku dan Jennifer jadi sahabat baik. Kita jadi satu sekolah waktu SD bahkan sekelas, dan di SMP kita bertemu lagi, sekelas lagi dan waktu masa SMA, Jennifer sempat pindah ke luar negeri, tapi 1 tahun kemudian dia kembali dan dia sekolah disini. Bersamaku lagi.”
Aku hanya mendengarkan cerita Ari tentang Jennifer dan mungkin, ini juga tentang masa lalu Ari.
“Waktu kelas 2, aku melihat perbedaan yang jauh dari Jennifer. Dia makin cantik, makin pandai, dan makin baik. Sifatnya yang dulu sudah baik, sepulang dari luar negeri, dia makin baik. Aku jatuh cinta sama dia.”
“Lalu, kamu mengungkapkan rasa itu?”
“Ya. Aku mengungkapkan rasa itu ke Jennifer. Di kelas ini, didepan anak-anak semua.”
“Lalu bagaimana hubunganmu sama dia sekarang? Masih berjalan? Lalu kenapa bangunan ini seperti habis terbakar?”
Ari memandangku, dia tersenyum. “Pertanyaan yang bagus.”
Aku memandang Ari bingung.
“Hubunganku dan Jennifer tidak sampai di ujung dunia, kita menjalin hubungan hanya 1 tahun lebih 6 bulan.”
“Kenapa?”
“Seperti pertanyaanmu tadi.” Ari menarik nafas panjang, “Sekolah ini terbakar secara tiba-tiba. Waktu itu, aku tidak ada ditempat. Aku ada dirumah, aku sakit. Tapi Jennifer ada disekolah.”
“Jadi, Jennifer…”
“Ya. Dia dimakan oleh api besar yang sedang murka dan marah besar.” Ari menunduk, diam sejenak. Mengangkat kepala lagi, “Kata anak-anak yang ada ditempat, Jennifer terjebak didalam kelas. Tidak ada yang bisa dan berani menolongnya, karena api terlalu besar. Sampai-sampai, warga sekitar membantu untuk memadamkan api. Sekolah sudah memanggil pemadam kebakaran.”
“Lalu? Jennifer selamat?”
Ari menggeleng, “Waktu api sudah padam, petugas pemadam kebakaran menemukan tubuh Jennifer dikelas ini hangus. Wajanya tidak dapat dikenali.”
“Lalu, dari mana mereka tau kalau itu Jennifer?”
“Mereka tau kalau itu adalah Jennifer dari ini.” Ari mengangkat tangan kirinya. Menunjukkan apa yang ada di jari manis kirinya.
Aku melihat apa yang ada di jari manis kiri Ari. Aku menyentuh benda itu. “Ini?”
“Ya.”
“Ini kan…”
Ring Couple.” Ari melepaskan cincin itu dari jari manis kirinya. “3 bulan waktu aku dan Jennifer jadian, aku membelikan ini untuknya. Itu bertepatan waktu aku dan dia jadian yang ke-3 bulan. Dia senang sekali waktu itu, tapi kebahagiaan tidak berpihak pada aku dan dia.”
“Terus, kenapa kamu ajak aku kemari?”
“Seperti kataku tadi. Waktu aku memelukmu tiba-tiba dan berkata…”
“Jadi, wajahku mirip sama Jennifer?” tanyaku, memutus kata Ari.”
Ari menatapku, mengangguk pelan.
“Ari, maaf. Aku sudah bertemu kamu. Aku sudah mengingatkanmu pada masa lalu. Aku benar-benar nggak tau kalau wajahku mirip sama…” telunjuk Ari menutup mulutku.
“Sssttt. Ini bukan kesalahanmu. Waktu yang sudah melakukan ini padaku. Waktu yang sudah mempertemukan kita. Waktu pula yang menyuruhku untuk kenal denganmu dan menceritakan penat hatiku selama 3 tahun ini.” ucap Ari. Memutus kataku.
Aku menunduk. Aku merasa sangat bersalah. Seketika Ari mengangkat wajahku, “Jangan sedih. Ini bukan salahmu.”
Aku melihat jam tangan, “Baiklah. Kita pulang. Akashi sudah menungguku dirumah.”
Ari mengangguk. Menggandeng tanganku. Kita pun pulang. Dengan perasaan yang tidak seperti tadi. Perasaan yang penuh rasa kesalahan, kesedihan dan entah rasa yang satu ini. Tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Akashi sudah menungguku didepan rumah. Wajahnya menunjukkan kecemasaan, ke khawatiran, dan gelisah. Akashi langsung menghampiriku waktu aku keluar dari mobil Ari.
“Jasmine. Kemana aja kamu? Sore begini baru pulang? Aku telfon nggak diangkat.”
“Sorry, Jasmine tadi keluar sama aku. Aku nggak tau kalau dia punya kakak disini.” sambung Ari keluar dari mobil.
“Dia bukan kakakku. Dia temanku waktu di Indonesia.”
“Jasmine, siapa dia?” tanya bisik Akashi.
“Dia atasanku di kampus. Tadi kita jalan-jalan aja kok. Tenang aja, aku baik-baik aja.”
“Jasmine, aku pulang dulu.”
“Hati-hati, Ari.”
Ari masuk mobil dan mobil itu pun langsung hilang dari pandangan mataku. Hilang dimakan oleh kegelapan.
“Sudah makan malam?” tanya Akashi.
“Belum.”
“Aku udah siapin makan malam. Kamu makan, terus mandi. Istirahat.”
Aku mengangguk. Akashi menggandengku masuk kerumah.
![Animasi (22).gif](file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![Animasi (22).gif](file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image003.gif)
![Animasi (22).gif](file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image003.gif)
2 tahun sudah aku di Korea. Tinggal satu tahun lagi, aku akan pulang ke Indonesia. Bertemu dengan adikku, Clara dan bertemu dengan Jorge kembali.
“Gimana ya kabar Jorge? Seharusnya dia menghubungiku sekarang. Apa aku yang menghubunginya ya?” gerutuku. Aku diam sejenak. “Ah iya. Aku telfon Jorge aja.” Aku mengambil telfonku dikamar. Waktu aku lihat hapeku. “Astaga.” 5 missed call dari Jorge. “Ahh, tau gitu. Nggak aku tinggal hapeku dikamar.” gerutuku kesal. Dengan cepat, aku menekan tombol hijau.
“Halo?”
“Jorge?”
“Jasmine!”
“Jorge.”
“Jasmine, kemana aja kamu? Aku telfon dari tadi, nggak kamu angkat.”
“Sorry. Aku tadi diruang tivi. Hapeku dikamar.”
“Okelah. Gimana kabarmu, sayang?”
“Sayang?”
“Kenapa? Kamu nggak suka aku panggil itu?”
“Eh, nggak kok. Suka banget malah. Kabarku baik.”
“Syukurlah.”
“Gimana kabarmu sendiri?”
“Aku nggak baik. Disini banyak banget godaan. Honey.”
“Godaan?”
“Heem. Cewek-cewek disini kalau ketemu aku, selalu merayuku. Untung aku langsung lihat gelang couple kita. Jadi aku cuek.”
“Ah… So sweet. Tapi bener ya? Awas kalau tergoda.”
“Bener. Gimana, cowok Korea menggodamu tidak?”
“Mereka suka ngirim surat gitu. Tapi, ada satu cowok yang bikin aku harus selalu lihat gelang couple kita.”
“Siapa?”
“Dia atasanku. Namanya Ari. Dia bukan asli Korea. Dia cuma sekolah disini, tapi yang lebih tepat. Dia udah tinggal disini.”
“Kenapa dengan dia? Kok katamu, kamu harus selalu lihat gelang couple kita?”
“2 tahun aku kenal dia. Dia selalu mendekatiku, padahal aku udah menjauh. Katanya, wajahku mirip sama mantannya. Tapi, mantannya sudah tiada.”
“Wah, DANGER. Kamu harus jaga jarak sama dia, ya? Honey. Aku nggak mau kamu diambil sama dia.”
“My sweet heart. Don’t worry. I always for you, now and forever. And I will loyal wait you.”
“I too, sweet heart.”
“Jorge, sudah dulu ya? Aku mau keluar sama Akashi. Aku mau cari buku sama dia.”
“Ok. Bye. I love you. I miss you.”
“Ok. Bye. I love you too and I miss you too.”
“Jasmine.”
“Iya?”
“I wish you were here.”
Aku diam sejenak. Ingin meneteskan air mata mendengar kata itu dari Jorge. Tapi, aku tahan, “I wish you were here too.” Tak lama, terdengar nada sambung terputus. Tak terasa, air mataku benar-benar menetes. Jatuh dari pelupuk mataku.
“Jasmine?”
“Iya?”
“Kamu nggak pa-pa?”
Aku mengusap air mata, dan menjawab pertanyaan Akashi. “Iya. I’m fine.”
“Kamu kenapa?”
“Aku nggak pa-pa.”
Akashi mengusap air mataku yang keluar lagi. “Kamu nangis? Kenapa?”
“Aku rindu Jorge.” tangisku tak bisa ditahan lagi.
Akashi langsung memelukku. Mengusap-usap rambutku lembut. “Aku tau perasaanmu, Jasmine. Menangislah sepuasmu. Aku sahabatmu. Aku sudah anggap kamu sebagai adikku. Nggak usah merasa nggak enak hati untuk cerita ke aku.”
Aku tidak bisa menjawab kata Akashi. Tangisan ini tidak bisa aku tahan lagi.
Akashi melepaskanku dari pelukan. Mengangkat wajahku, menatap wajahku dan kedua mataku. “Sebentar lagi kamu selesai kuliah disini. Kamu akan bertemu sama Jorge. Bersabarlah.”
Aku hanya mengangguk. Mengusap air mataku.
“Ayo kita cari buku.” ajak Akashi. Dia membantuku mengusap air mata yang masih tersisa. Menggandengku keluar dari kamar menuju ke halaman. Dimana mobil Akashi terparkir disana.
Mobil keluar dari halaman rumah. Menuju toko buku yang biasanya aku membeli keperluan buku selama disini. 30 menit, akhirnya sampai ditoko buku.
“Kamu nggak masuk?” tanyaku waktu keluar dari mobil. Melihat Akashi masih didalam mobil.
“Sorry, aku nggak bisa masuk. Sebenarnya, aku ada urusan dikantor hari ini. Jadi…”
“Nggak pa-pa. Nanti aku cari kendaraan lain buat aku pulang.”
“Nggak bisa. Aku usahakan secepat mungkin urusannya selesai. Kamu tunggu aku kalau misalnya kamu sudah selesai tapi aku belum sampai sini. Kamu nggak boleh pergi, kecuali aku jemput.”
Aku mengangguk.
“Ok. Aku pergi dulu. Bye…”
“Bye…” Akashi pergi dengan mobilnya. Aku masuk ke toko buku. Mencari buku yang aku butuhkan.
Keliling-keliling sampa 6 menit, akhirnya ketemu juga buku yang aku cari. Aku langsung menuju kasir. Membayarnya dan keluar dari toko.
Aku melihat jam, “Masih siang.” ucapku. Aku mencari-cari mobil Akashi, tapi tidak ada. Artinya, mereka belum datang. Jadi, aku menunggu dia didepan toko buku.
10 menit kemudian…
“Hai.”
“Ari?”
“Ngapain disini?”
“Habis beli buku. Nunggu jemputan. Kamu sendiri?”
“Jemput kamu.”
“Hah?!”
“Ayo ikut!” Ari menarik tanganku dan spontan, aku pun mengikutinya dan masuk ke mobilnya.
“Mau kemana kita?”
Ari hanya tersenyum, tidak menjawab pertanyaanku. Dia langsung menyalakan mobil. Mobil melaju dengan kecepatan standar.
Aku nggak tau sama sikap Ari yang kali ini. Dia aneh. Nggak biasanya, bawa mobil terlalu santai kayak sekarang.
“Sampai!”
Aku memalingkan pandangnku ke depan. “Taman?”
Ari mengangguk. Keluar dari pintu dan membukakan pintu disisiku. “Come on!” Ari mengulurkan tangannya. Aku pun meraih tangannya.
Aku masuk ketaman itu bersama dengan Ari.
“Kita duduk aja, ya? Aku lagi nggak mod jalan.” pintaku.
“Baiklah.”
Aku dan Ari akhirnya duduk ditaman itu. Kita berdua diam tanpa ada yang berbicara. Tiba-tiba saja… Tangan Ari menggenggam tanganku. Aku langsung memalingkan wajah ke dia. Tapi, wajah Ari masih menatap langit.
“Ari?”
“Iya?” Ari menoleh, akhirnya.
“Sorry, tanganmu.”
Ari melirik ke arah dimana tanganku di genggam olehnya, “Kenapa?”
‘What?! Kenapa? Gila dia. Apa dia nggak lihat selama 2 tahun ini ada gelang couple di tanganku? Masak aku harus bilang?’ batinku.
“Kenapa? Kamu nggak suka aku genggam tanganmu?”
Pertanyaan itu. Benar-benar membuatku emosi meledak. Seketika itu juga, aku berdiri. Melepaskan tanganku dari tangannya. “Ari!”
Ari berdiri waktu aku berteriak. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang bingung dan kaget.
“Kamu gila apa?”
“Kenapa?Ada apa denganmu?”
“Ari, selama 2 tahun ini. Aku udah sabar menghadapi sikap kamu itu. Tapi, untuk kali ini. Aku nggak bisa menahannya lagi.”
“Apa maksud kamu? Sikap aku? Sikap apa?”
“Kamu pura-pura nggak tau apa beneran nggak tau?”
“Aku nggak ngerti maksud ucapanmu, Jasmine.”
Aku mengangkat tangan kiriku. Dimana gelang couple dan Jorge aku pakai dipergelangan kiri. “Ini. Ini. Apa kamu nggak lihat?”
“Gelang couple? Jadi, kamu…”
“Iya. Aku udah punya pasangan. Apa kamu nggak lihat? 2 tahun, Ari. 2 tahun. 2 tahun sudah kita saling mengenal, 2 tahun sudah kamu selalu mengajakku jalan dengan paksa, 2 tahun sudah kamu menggenggam tanganku suddenly, 2 tahun sudah kamu memelukku suddenly, juga. Aku tahan semua itu. Aku tau perasaanmu gimana kalau dekat aku. Kamu sedih ingat Jennifer. Tapi mala mini, aku nggak lihat wajah sedih darimu. Kamu senang melakukan ini.”
“Jasmine, aku… Aku nggak bermaksud begitu.”
“Cukup. Tanpa kamu jelaskan semua, aku sudah tau. Kedua matamu telah mengatakan lewat kedua mataku. Cukup. Aku mau pulang.” tanpa sadar, aku mengeluarkan air mata.
“Aku antar.”
“Makasih. Aku pulang sendiri.” ucapku lirih, mengusap air mata.
“Jasmine!” Ari menarik tanganku, langsung memelukku.
“Lepasin aku. Don’t touch me, again.” aku melepaskan diri dari pelukannya. Mendorongnya sampai jauh dariku. Aku langsung berlari keluar taman.
“Jasmine!” Ari mengejarku. Dia menarik tanganku lagi. Aku berhenti belari. “Sorry. Jasmine.”
“Aku nggak tau harus menerima atau nggak ucapan maaf kamu kali ini. Aku nggak tau.” menarik nafas panjang, “Aku… Aku cuma sayang sama Jorge, aku cinta sama Jorge.. Just he in my heart for now and forever. Tidak ada yang bisa menggantikan dia dihati, termasuk kamu. Aku tau, kamu begini sama aku karena aku mirip sama Jennifer. Tapi, jangan manfaatkan aku dengan cara ini. Tanpa kamu sadari, kamu udah jatuh cinta sama aku. Kamu nggak begitu merasakan, tapi aku. Aku seorang cewek lebih peka atas rasa itu.” lanjutku.
“Sekali lagi, aku minta maaf. Jasmine.”
“Aku maafkan kamu. Dengan satu syarat.”
“Apa itu?”
“Jauhin aku. Pergi dari hidupku. Lupakan aku. Cari yang jauh lebih baik dari aku. Thanks.” ucapku, melepaskan genggaman tangannya tadi. Pergi meninggalkannya.
“Tapi, Jasmine.” Aku meninggalkan Ari. Tanpa mendengarkannya lagi.
Aku keluar dari taman. Mengusap air mataku lagi yang tadi keluar lagi. Aku mencari-cari kendaraan untuk aku pulang. Tiba-tiba…
“Akashi?” sebuah mobil yang nggak asing dipandangan mataku. Tak lain dan tak bukan, itu adalah mobil Akashi. Tapi, aneh. Dia tidak membuka kaca untuk menyuruhku masuk. Hanya menekan bel mobil beberapa kali. Aku pun masuk dengan mata yang sembab.
Aku nggak berani menatap wajah Akashi. Takut dia khawatir sama aku.Jadi aku hanya menunduk dan sesekali memalingkan wajah ke depan dan ke samping kiri.
“Don’t cry, sweet heart.”
Aku langsung mengangkat kepalaku, menatap wajah Akashi. Eh, bukan. Dia bukan Akashi. Akashi nggak pernah memanggil aku dengan sebutan itu. Tapi, dia…
“Jorge?!”
“Hai, honey.” cowok itu membuka tudung topi jaketnya. Ternyata Jorge.
Aku mengeluarkan air mata lagi. Dan, Jorge menghentikan mobilnya. “Jangan nangis, honey. Aku ada disini. Disampingmu.” ucap Jorge, mengusap air mataku lembut.
“Kamu… Kamu kapan datang, hiikss. Datang kesini?”
“Tadi siang.”
“Bukannya, hikks. Setahun lagi kamu baru, hiiks. Baru pulang dari London?”
Jorge menggeleng. “Kuliahku sudah selesai. Karena aku sudah bisa mencapai materi yang tidak seharusnya aku pelajari. Jadi, mereka beranggap aku jenius. Jadi, batasanku hanya 2 tahun. I miss you, Jasmine.” Jorge memelukku.
“I miss you, too.” balas memeluknya. Nggak lama, aku melepaskan pelukan. “Gimana caranya kamu bisa tau aku ada ditaman?”
“Akashi. Dia yang ngasih tau aku kalau kamu ada disini. Waktu kamu pulang dari toko buku, dia lihat mobil didepan toko buku. Akashi hafal dengan mobil itu, dia mengikuti mobil itu dan dia langsung pulang. Waktu dia pulang, aku ada didepan rumahnya. Dia langsung cerita ke aku. Aku langsung mencari kamu. Dan waktu aku melihat mobil yang disebutkan sama Akashi, aku turun. Aku lihat kamu sama seorang cowok, dan…”
“Aku… Aku nggak selingkuh. Dia cuma…”
“Sssttt…” Jorge menutup bibirku dengan telunjuknya, “Akashi sudah cerita tentang cowok itu. Aku percaya sama kamu, karena Akashi selalu melaporkan bagaimana gerak-gerikmu selama disini. Aku awalnya nggak pengaruh sama kabar Akashi, karena aku percaya sama kamu. Tapi, waktu aku baca laporan yang tentang kamu jalan sama cowok itu, aku mulai curiga. Tapi, kecurigaan itu hilang. Waktu Akashi bilang, kalau kamu just love me, no other.”
“Ya… That’s true.”
“Kamu nggak usah jelaskan semuanya. I always believe you, but don’t breaking my trusty.”
Aku mengangguk.
“Kita tidak akan pernah terpisahkan, karena kekuatan cinta kita. Kecuali maut yang memisahkan.”
Aku mengeluarkan air mata mendengar kata-kata itu dari Jorge.
“I love you. I miss you. I need you. Sweet heart. My love.”
Aku tersenyum, “I love you. I miss you. I need you. My heart. My beloved.”
Jorge mencium keningku, dan memelukku.
Aku akan bahagia dengan Jorge selamanya. Sampai kapan pun. Sampai maut yang menjemput kita. Cinta ku dan Cinta Jorge tidak ada yang bisa memisahkan. Except, death.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar