Halaman

Kamis, 01 Maret 2012

Misteri Rumah Tua


  A
ku Grisly Jiang Ikaria, aku sering dipanggil Grays. Aku anak kedua dari keluarga terhormat di ASIA. Papaku Soong Joan Ikaria, mamaku See Jung Ikaria dan aku punya kakak cowok, namanya Iskar Haiku Ikaria. Aku dan kakakku lahir di Jepang, tapi 10 tahun setelah aku lahir, aku dan keluargaku pindah ke Indonesia. Mungkin untuk sementara, karena papaku ada urusan disini. Setelah urusan papa selesai, aku dan kak Iskar diajak kembali ke Jepang. Tapi aku nggak mau, aku lebih senang di Indonesia. Akhirnya, papa dan mama menuruti kemauanku. Aku dan keluargaku menetap di Indonesia.
     
S
elama di Indonesia, aku dan kakakku berencana akan sekolah di SMAN 1 Denpasar. Ya, aku dan keluargaku berada di Bali. Aku jadi satu sekolah sama kakakku, karena umurku dan dia hanya beda 2 tahun. Aku masih kelas 1 SMA, kak Iskar kelas 3 SMA.
Di Bali, papa bangun rumah yang tinggi, lebar, dan besar. Selama rumah dibangun, aku dan keluarga tinggal dirumah yang satunya. Rumah ini besar juga, dan kalau malam suasana selalu sepi, tenang, dan menyeramkan.
Disebelah rumahku ada rumah tua yang udah jelek, rapuh, ditumbuhi rerumputan dan menyeramkan.
  S
uatu malam, aku terbangun ditengah malam. Aku bangun malam-malam karena haus, aku mengambil minum didapur. Karena letak dapur dan kamarku jauh, aku memberanikan diri untuk mengambil minum. Karena saat itu juga aku terbangun jam 00.00. Aku ke dapur membawa boneka teddy bear kesayanganku. Maunya bangunin kak Iskar buat nemenin ke dapur, tapi kelamaan, keburu rasa hausku hilang.
      Aku perlahan-lahan menuruni tangga, dengan perasaan takut, deg-deg, was-was, semuanya jadi satu.
Pas sampai didapur aku membuka kulkas, minum segelas air putih yang dingin dan segar banget. Karena mungkin aku akan haus lagi, jadi aku bawa gelas air putih ini ke kamarku.
A
ku jalan pelan-pelan menaiki tangga, tapi saat ditengah-tengah tangga. Aku mendengar suara anak kecil menangis. Aku takut, jadi aku lari menaiki tangga dan BRUK !!!
“ADUH…” teriakku sekencang-kencangnya… Aku jatuh, gelas yang aku bawa pecah, aku berusaha berdiri dan lupa kalau gelasku pecah, tanganku menginjak serpihan gelas kaca itu…“Papa…Mama… Sakit… Aduh…” teriakku semakin kencang.
      Nggak lama semua orang bangun, papa mama dan kak Iskar keluar dari kamar, menghampiriku.
“Grays, ada apa?” tanya kak Iskar.
“Astaga. Grays, sayang. Tanganmu, tanganmu berdarah, nak.” kata mamaku shock.
“Aku… Aku carikan kotak obat P3K dulu, ma.” ucap kak Iskar dan berlalu untuk mengambil kotak P3K.
“Grays, ada apa sebenarnya? Kenapa kamu bisa ada disini dan tanganmu bercucuran darah?” tanya papa khawatir.
“Aku tadi haus, pa. Aku ke dapur ambil minum, terus karena pikirku aku akan haus lagi, jadi aku bawa gelas ini ke kamarku. Aku jalan ke kamar, tapi pas di tengah-tengah tangga, aku denger tangisan anak kecil. Aku takut, aku lari dan karena gelap, aku nggak lihat anak tangga. Aku kesandung, gelasku pecah dan saat mencoba berdiri, tanganku menginjak serpihan gelas kaca, berdarah gini jadinya.” jelasku.
“Tangisan anak kecil?” tanya mama bingung.
“Grays, kamu itu mengada-ada. Mana mungkin ada tangisan anak kecil? Di rumah kita tidak ada anak kecil. Ngarang kamu.” tolak papa.
“Beneran, pa. Grays nggak bohong.” kataku.
   Nggak lama kak Iskar datang dan membawa kotak P3K.
“Sudah-sudah. Kita harus perban lukamu dulu. Jangan sampai kamu kehabisan darah.” ucap mama,“Iskar, kamu bantu papamu menutup luka adikmu. Mama ambil kain pel dulu buat membersihkan darah adikmu. Nggak enak kalau bangunin bi Inna. Sudah malam soalnya. Dia pasti istirahat.” kata mama sambil berlalu untuk mengambil kain pel.
   Tanganku dibalut perban sama papa dan dibantu kak Iskar.
 “Sudah selesai. Sekarang kamu tidur sama aku aja.” kata kak Iskar.
“Nggak mau. Aku kan udah gede, aku nggak mau tidur sama kakak.” tolakku.
“Grays, apa kamu yakin mau tidur sendiri? Teddy bear mu kotor, penuh dengan darahmu. Kamu kan nggak berani tidur sendiri kecuali ada teddy bear mu.” kata kak Iskar lagi.
“Benar kakakmu. Lebih baik kamu tidur sama kakakmu. Papa nggak mau kamu celaka lagi dan teddy bear mu papa simpan. Besok papa suruh bi Inna bawa teddy bear mu ke laundry.” sambung papa.
“Baiklah.” kataku pasrah.
“Bisa berdiri nggak?”
“Aku coba.” aku mencoba berdiri, tapi… ”Aduh… Kakiku.”
“Dasar manja.”  protes kakakku.
“Iskar… Bantu adikmu buat bangun. Papa mau ke kamar, istirahat lagi. Dan kalian berdua juga harus istirahat.” ucap papa.
“Baik, pa.” kataku dan kak Iskar barengan…“Sini, biar aku gendong. Nyusahin kakak aja kamu itu.”
“Ya maaf lah, kak. Ini kan kecelakaan.”
   Kak Iskar nggak ngerespon ucapanku. Karena ngantuk, aku langsung tidur digendongannya, meskipun belum terlalu lelap.
“Grays, Grays. Kamu itu kadang nyebelin, kadang nyenengin. Tapi meskipun kamu nyebelin, nyusahin, kakak akan selalu menjaga kamu. Kakak janji akan selalu ngelindungin kamu dari bahaya yang ngancem kamu. Kakak nggak bisa maafin diri kakak kalau kamu celaka. Kakak janji.” kata kak Iskar pelan… Aku sempat mendengarnya, meskipun samar-samar dan aku ngerasa aku sudah ada dikasur. Aku ngerasa aku ada dipelukan kakakku tersayang, diatas kasurnya. Tenang rasanya ada abang yang bisa ngelindungin aku.


Pagi harinya……
“Grays, cepat dandannya. Kamu belum sarapan, nanti telat ke sekolah.” teriak mama dari bawah.
“Iya, ma. Ini Grays sudah siap.” balasku.
   Selesai berdandan aku mengambil tas dan menghadap ke kaca lagi untuk mengecek pakaianku sudah rapi atau belum. Tapi saat melihat ke kaca, aku melihat bayangan lain. Di kaca, aku nggak hanya ngeliat bayanganku, tapi aku ngeliat bayangan anak kecil yang terlihat sedih banget. Dari bayangan di kaca, anak itu ada dibelakangku. Aku segera menoleh ke belakang, dan… Nggak ada apa-apa. Hanya ada bantal, guling, dan selimut yang tertata rapi.
   Aku keluar kamar dengan ketakutan. Lari menuruni tangga dengan cepat sekali. Aku nggak peduli mau jatuh atau nggak, yang penting aku jauh dari bayangan itu.
“Hey, adikku sayang. Kok lari-lari? Kayak habis liat setan aja kamu.” kata kak Iskar.
“Yeah… Ya… Aku… Memang habis…” ucapku ngos-ngosan.
“Sudah. Grays, duduk dan sarapan. Nanti kamu telat.” potong mama.
“Baik… Baiklah ma.” kataku masih ngos-ngosan.
   Aku nggak tau ada apa dengan rumah ini. Baru kemarin aku tinggal di sini, aku sudah melihat yang aneh-aneh. Ada apa dengan rumah ini? Atau perasaanku saja? Apa jangan-jangan… Bayangan anak kecil itu, hantu dari rumah tua jelek yang ada disebelah rumah ini. Dan apa mungkin, tangisan kemarin itu suara anak kecil tadi??? Aku masih penasaran dengan semua kejadian yang aku alami. Kalau prediksiku benar, aku akan cari tau asalnya rumah tua itu.
“Woy… Ngelamun aja. Habisin rotinya, kita berangkat.” suara kak Iskar bikin aku kaget.
“Ngg…Nggak, kok.” ucapku membela diri, “Iya, ya aku habisin.”
A
pa aku cerita sama kak Iskar ya? Kalo cerita ke papa and mama, pasti mereka nggak percaya. Terbukti kemarin pas aku cerita kalo aku denger tangisan anak kecil, mereka nggak percaya. Apa lagi kalo aku cerita aku liat bayangan anak kecil itu di kaca kamarku. Tapi, apakah mungkin kak Iskar juga percaya dengan ceritaku?
      1 jam perjalanan dari rumah ke sekolah naik sepeda motor kakak. Sebenarnya aku bisa naik kendaraan sendiri, tapi tanganku belum bisa nyetir jadi aku naik motor sama kakakku. Kak Iskar lebih suka naik motor dari pada naik mobil, katanya naik motor lebih enak dari pada mobil.
“Grays, nanti di kelas baru sikapmu biasa aja, ya. Jangan nunjukkin anak dari orang terhormat.” pesan kak Iskar.
“Aku akan selalu ingat pesan itu.”
“Baguslah.”
    Aku turun dari motor kakakku, jalan dengan santai menuju kelas  baruku, aku harap sampe di kelas baru, aku disambut suka cita dengan teman baruku juga.
     Nggak butuh waktu lama menuju kelas dari parkiran sekolah.
“Hey, guys. Lihat siapa yang datang?” ucap salah satu dari cowok kelas baruku dan semua anak yang ada di kerumunannya melihatku.
“Anak baru?” tanya salah satu dari mereka.
“Ya.” jawabku dengan tersenyum.
“Hey. Kemari.” sapa dan ajak cewek di kelas itu… Aku pun menghampiri cewek itu.
“Kenalin, aku Camellia Orchid.” mengajukan tangannya, lambang perkenalan.
“Grisly Jiang Ikaria.” membalas uluran tangannya.
“Duduk aja di sebelahku. Kosong kok disini.”
“Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Dengan senang hati aku duduk di sini.” balasku dan melepaskan tangannya dari tanganku.
       Aku duduk disebelah cewek itu…
“Aku panggil kamu apa?” tanyanya.
“Grays.”
“Grays? Keliatannya, jauh dari nama mu.”
“Yeah, kalo orang yang tidak mengerti nama itu pasti bilang begitu.” jelasku.
“Oh, ok. Kamu bisa panggil aku, Camel.”
“Ok, Camel.” kataku dengan senyuman.
“Pindahan dari mana?”
“Jepang.”
“Jepang? Pantesan…” suaranya terhenti.
“Pantesan apa?”
“Pantesan namamu seperti orang Jepang dan wajahmu juga.”
“Oh, yeah. Banyak yang bilang begitu.”  ucapku, “Camel, siapa cowok-cowok yang ada di sana?” tanyaku sambil melihat segerumbulan cowok-cowok disudut kelas, dan sebagian dari mereka yang tadi tanya sama aku.
“Oh, mereka. Mereka kumpulan anak-anak dari keluarga terpandang.” jelas Camel.
“Terpandang?” tanyaku bingung.
“Yeah… Laki-laki yang berambut pirang itu namanya Alec Bright, dia anak cowok paling muda di kelompok sana, tepatnya paling muda nomer 4. Sebelah kanannya, Discos Bright, dia anak paling muda nomer 3, anak  yang berbadan paling kekar itu Jake Bright, dia anak paling muda nomer 2 dan yang paling tua alias kepala kelompok mereka adalah Ricky Bright. Mereka pindahan 3 tahun yang lalu. Mereka dari London, Inggris.” jelas Camel lagi.

“Rupanya, kamu hafal sekali dengan mereka.”
“Gimana nggak hafal. Salah satu dari mereka pernah jadi cowokku.”
“Siapa?” tanyaku.
“Upps, aku kelepasan. Lupakan !” kata Camel.
“Siapa yang pernah jadi cowokmu?” tanyaku memaksa.
“Ricky Bright.” katanya.
Nggak lama guru masuk ke kelas…
“Anak-anak. Hari ini kita ada murid baru.” Berkata ke semua anak kelas, “Grisly, kemari. Perkenalkan dirimu.”
“Baik, pak.” kataku… Aku maju ke depan kelas dan memperkenalkan diri.
“Aku Grisly Jiang Ikaria. Kalian bisa panggil aku Grays. Memang aneh kedengarannya, namaku begitu, panggilanku begitu. Tapi itu panggilan yang berarti… Aku pindahan dari Jepang. Terimakasih.”
“Oke. Itu pekenalan dari Grays… Terimakasih Grays. Silahkan duduk kembali.”
“Yes, sir.”
  Aku kembali duduk disamping Camel.
“Grays, kamu tau nggak?” kata Camel dengan teka-teki.
“Apa?”
“Waktu kamu ngenalin diri, Alec ngeliatin kamu loh.”
“Nggak mungkin.” elakku.
“Nggak percaya? Liat aja sendiri sekarang.”
  Aku berbalik badan. Aku ngeliat ke bangku Alec. Well, ternyata bener yang di katakan Camel. Bahkan sampe aku udah duduk pun, dia masih ngeliatin aku.
“Udahlah. Nggak usah di tanggapin.” kataku.
“Ok.”
   Selama pelajaran mulai, aku masih ngerasa Alec ngeliatin aku… Aku nggak tau apa yang dia lihat, tapi… Aku cuek aja.
   
“Hey, Grays. Sayang.” kata kak Iskar yang langsung memelukku dari belakang.
“Hey, kak.”
“Well, udah punya sobat?” tanyanya melepaskan pelukannya dan duduk di sebelah kiriku.
“So pasti. Kenalin ini Camellia Orchid.” kataku, “Camel, ini kakakku.”
“Hey, Orchid.” kak Iskar mengulurkan tangannya.
“Hey juga, kak.” Camel membalas uluran tangan kak Iskar.
“Panggilannya itu Camel.” protesku.
“Nggak pa-pa kok. Kalo dipanggil Orchid.” kata Camel, “Ke kelas, yuk.”
“Sorry Camel, kamu ke kelas duluan aja. Aku mau ngobrol sama kakakku dulu.” kataku.
“Baiklah.”
   Setelah Camel pergi, aku menarik kak Iskar dan duduk dibangku kantin.
“Ada apa, Grays?”
“Kak, tolong percaya sama ceritaku ya? Please.”
“Ok.”
“Tadi aku ngeliat bayangan anak kecil di kaca kamarku pas aku dandan.” jelasku.
“Berarti…” kak Iskar nggak ngelanjutin katanya.
“Berarti apa kak?”
“Lanjutin ceritamu dulu.”
“Ok… Aku kemarin jatuh di tangga karena aku denger suara tangis anak kecil. Aku takut aku lari terus kesandung tangga dan…” jelasku lagi.
“Jatuh.” menatapku, “Aku percaya sama kamu, karena aku juga sama.”
“Maksudnya?” tanyaku bingung.
“Pas ambil kotak P3K kemarin buat kamu, aku denger suara tangis anak kecil. Ku pikir itu suara anak tetangga, tapi aku sadar kalo di sebelah rumah kita itu kosong. Jadi prediksiku…”
“Tangisan dan bayangan anak itu dari rumah itu?” tanyaku.
“Maybe?”
“Kalo misalnya prediksi kita benar, kita harus cari tau kebenarannya dan kita cari tau asal-usul rumah itu.” usulku.
“Gila, kamu. Papa sama mama nggak bakal ngebolehin kita ngelakuin itu.” elak kak Iskar.
“Kita nyari tau asal rumah itu tanpa sepengetahuan mama papa.”
“Jadi? Rencanamu?”
“Kita pergi kerumah itu pas mama dan papa udah tidur. Tapi kita nggak akan kesana berdua. Kita harus ajak teman kita.” kataku.
“Kalo menurutku, lebih baik kita tanya sama teman kita dulu.”
“Caranya? Kata kakak jangan sampe ada yang tau tentang diri kita yang sebenarnya.” kataku.
“Kita tanya sama teman kita gini, ‘Eh, tau nggak rumah tua yang ada di Jl. Jalak Hitam?’.” kata kak Iskar.
“Berarti kita cuma nyebutin alamat dan rumah itu?” tanyaku.
“Yeah.”
“Ok. I will try.” ucapku.
“Eh, siapa cowok yang di sana?” tanya kak Iskar dan melihat ke segerumbulan cowok yang duduk di bangku seberang aku duduk sama kakakku, mengalihkan topik.
“Oh, mereka anak dari keluarga terpandang dari London, kata Camel. Mereka pindahan 3 tahun lalu.” jelasku.
“Satu cowok yang dari tadi ngeliatin kamu terus, itu. Cowok mu?”
“Aku baru aja masuk di sini tadi, masak udah punya cowok. Itu Alec.” balasku.
“Alec? Siapa?”
“Alec Bright.”
“Apa? Bright. Jadi mereka anak dari keluarga Bright?” teriak kak Iskar.
“Yeah. Ada apa?”
“Jauhin mereka. Jaga jarak. Nanti kalo udah pulang, kamu tunggu di depan sekolah.” kata kak Iskar lalu pergi begitu aja.
“Tapi… Kak, ada apa?” percuma aku berteriak tapi nggak di hiraukan.
    Aku jalan ke kelas sendiri dan seperti biasa, jalan dengan santai… Sampe kelas, aku langsung menatap Alec Bright. Yeah, seperti biasa… dia selalu menatap, melihatku dengan tatapan kurang nyaman, sinis lebih tepatnya
A
ku mengikuti pesan kakakku. Aku menunggunya di depan sekolah. Nggak lama nunggu, kak Iskar nyusul aku di depan sekolah.
“Ayo, cepat naik. Jangan menengok!” teriak kak Iskar.
“O…… Oke.” ucapku, ‘Sebenarnya ada apa sih dengan sikap kakak setelah aku kasih tau kalau aku sekelas sama keluarga Bright? Aneh banget… Tapi, karena aku penasaran, jadi aku menengok ke belakang. Well, Alec Bright lagi menatapku. Saat aku menengok ke belakang, kepalaku pusing, aku langsung menempelkan kepalaku ke punggung kakakku dan berpegangan erat.
“You ok?” tanya kak Iskar dan memberhentikan sepeda motornya di suatu tempat.
“Y… Ya, I’m ok.” jawabku.
“Wait… Wajahmu pucat sekali, padahal wajahmu tadi baik-baik aja.”  ucapnya.
“Aku… Aku nggak pa-pa, kok kak.”
“Jangan bilang tadi, kamu habis…”
“Sorry, kak… Sorry banget. Aku penasaran, jadi aku nengok ke belakang dan ternyata Alec Bright lagi.”
“Grays, adikku sayang.” kedua tangannya memegang pipiku, menatap dengan kekhawatiran dan, “Please, dengarin kakak kali ini aja dan jangan di langgar lagi. Keluarga Bright berbahaya untuk kita dan keluarga kita. Dia musuh bebuyutan keluarga kita.” jelasnya.
“WHAT? Musuh? Bebuyutan? No way….”
“Yeah memang sulit untukmu buat dengar semua ini. Mau nggak mau kamu harus menjauhi dia dan hindari dia.” pesan kakak.
“Baiklah, aku akan mencoba.”
“Naik motor, kita pulang sekarang.”
“Oke.”
         Aku dan kak Iskar naik motor dan kembali pulang…
    Perjalanan menuju rumah cukup menegangkan, karena aku dan kak Iskar naik motor ngelewatin rumah tua jelek itu… Aku menatap rumah itu dengan penasaran, ‘Ada apa dengan rumah ini?’ tanyaku sendiri dalam hati… Well, ternyata rumah itu besar juga kalau di lihat begitu dekat.
    Nggak terasa aku dan kak Iskar udah sampe rumah… Papa dan mama nggak ada karena mereka berdua selalu sibuk…
“Apa rencana kita sekarang?” tanya kak Iskar turun dari motor.
“I don’t know.” jawabku, ikut turun dari motor ninja hitam kakakku.
“Bagaimana kalau sekarang kita masuk ke rumah itu?” usul kakak.
“Gila aja.” teriakku,“Nggak, ahhh.”
“Dari pada malem-malem?”
“Nggak, ahh. Siang, malem, sore, pagi… kapanpun waktunya, aku nggak mau masuk ke situ sebelum tau asal-usulnya dan ngajak temen-temenku.” protesku.
“Terserah. Aku tetep akan kesana.” kata kak Iskar. Berlalu dari halamana rumah dan keluar dari rumah.
“Kak… Jangan… Jangan tinggalin aku…” sekencang apa aku teriak, kak Iskar sudah keluar dari rumah… And now, aku bener-bener sendiri… Mana habis ini malem, papa mama belum balik. Aku harus ngapain ini? Aku beneran takut… Pelan-pelan aku masuk dan menutup pintu tanpa aku kunci, mungkin kak Iskar datang.
      3 jam berlalu… Kak Iskar belum pulang… Papa mama juga belum pulang. Aku bener-bener takut di rumah sendiri dan rumah ini juga gede banget…
      JJJEEEGGGLLLEEEKKK… Suara pintu…
“Itu pasti kakak. Huuh, akhirnya pulang juga dia.” aku jalan perlahan untuk melihat pintu dan ternyata…
“Halo, sayang…”  ‘Oh my god! Papa mama udah pulang… Mampus aku, pasti aku di interogasi kemana perginya si kak Iskar.’
“Hey? Wajahmu pucat. Ada apa?” tanya papa.
“Enn…Enggak ada apa-apa. Kok pa.” jawabku gugup.
“Kenapa belum tidur? Kakakmu kemana?” tanya mama sambil mengelus rambutku.
“Kak Iskar… Kak Iskar udah tidur.”
“Loh, kenapa kamu belum tidur? Sedangkan kakakmu udah tidur.” lanjut papa.
“Aku… Aku nunggu papa sama mama.” jawabku dengan pelan.
“Kita berdua sudah pulang, jadi kamu tidur sekarang. Besok kan sekolah.”  ucap mama lembut.
“Iya, ma pa.” suaraku tetap pelan, “Good night.”
“Good night.”
    Aku perlahan-lahan naik ke tangga, mencoba tidak untuk mendengarkan apa pun kecuali hujan yang turun deras di luar rumah. Perlahan-lahan menuju kamar dan… Sejenak aku menengok ke kamar kakakku…
“Astaga…… Apa itu tadi?” kataku terkejut… Aku melihat sosok anak kecil yang berdiri di depan pintu kamar kakakku. Aku nggak begitu jelas melihatnya, karena aku langsung membuang muka saat melihatnya dan masuk kamar.
"Kak… Kakak???” ucapku terbata saat mendapati kak Iskar udah sarapan di ruang makan.
“Ayo cepet sarapannya di habisin, kita buru-buru. Jam masuk hari ini awal.” perintah kak Iskar.
“Iya, kak.”
  Sarapanku habis, pamitan sama mama dan papa. Naik motor kak Iskar.
Selama di jalan aku hanya menatap kakakku yang ada di depanku dengan kebingungan dan tanda tanya besar. ‘Apa benar yang di depanku ini kakakku? Atau jelamaannya?’. Tiba-tiba kak Iskar ngerem dadakan, sadarkan aku dari lamunan tadi. Aku kira udah sampe di sekolah, tapi ternyata…
“Kok berhenti di sini? Kita nggak sekolah?”
“Sekolah libur.”
“Kok tau, kak?”
 Kak Iskar hanya diam, dia menarik tanganku menuju masuk taman itu.
“Duduk.”
“Iya, kak.”
“Sorry kemarin kakak bikin kamu khawatir. Kita nggak boleh diam terus, kita harus pecahkan semua ini.”
 ‘Sorry?’ ‘Pecahkan?’ apa maksud kata itu dari mulut kakak, tanyaku dalam hati.
“Aku kemarin ada di rumah tua itu, kan? Aku baru kembali pagi tadi jam 3. Di sana aku mencari-cari info dan kisah rumah itu. Terus, aku ngerasa ada yang ngikutin aku dari belakang. Aku kira itu kamu, tapi aku salah. Aku ikutin SOMETHING dari perasaanku tadi, sampe di ruang tengah. Ruangan itu besar, kosong, menyeramkan, hanya ada satu lukisan. Seorang anak kecil cewek dan anak laki-laki di sampingnya. Lukisan itu aku lihat sampai nggak lama kemudian kedua mata mereka bergerak, menunjuk sebuah kamar. Awalnya aku takut, tapi dengan keberanian, aku ikutin gerakan mata itu. Aku masuk ke kamar itu, dan ternyata aku tau sumber ketakutan kamu selama ini.” jelas kak Iskar panjang lebar.
“Apa yang ada di dalam kamar itu?”
“Aku lihat anak kecil yang kamu katakan waktu itu. Aku dekatin dia.”
“Terus kak?”
“Wajahnya… Wajahnya berlumur darah, dan dia menangis darah.”
“Kak, jangan nakut-nakutin aku.”
“Grays, aku serius.”
“Terus kita harus gimana?” tanyaku dengan ketakutan.
“Aku belum selesai cerita… Anak kecil itu aku dekatin, terus dia hilang gitu aja. Dari situ, bulu kuduk ku berdiri semua. Terus aku nggak inget apa-apa. Paginya, aku udah ada dikamar.”
“Kalo itu mimpi, nggak mungkin soalnya kakak hilang dan belum kembali di kamar. Mungkin, kakak dibawa sama SOMEONE waktu itu, terus di bawa ke kamar kakak.”
“Nggak penting untuk itu. Yang penting kita harus selesaikan ini semua.”
“Caranya?”
“Kita ke rumah keluarga Bright.” usul kakak.
“GILA !!!” teriakku.
“Nggak… Mau nggak mau harus mau. Cuma mereka yang bisa.”
“Apa hubungannya mereka sama rumah tua di sebelah kita?” tanyaku.
“Kakak nggak tau apa hubungannya, tapi kakak bilang gitu karena kakak lihat nama keluarga bilang di selembar kertas yang udah lusut dan warnanya pun kelihatan udah lama banget tuh kertas di simpen.”
“Emang dimana kakak liat kertas yang ada nama keluarga, Bright?”
“Tepatnya di atas kasur kamar saat kakak nemuin anak kecil itu.”
“Terus apa lagi yang kakak liat?”
“Kakak nggak liat apa-apa dan cuma itu yang kakak ingat, lainnya nggak begitu ingat karena tempatnya gelap dan kalo kakak liat beberapa benda di sana karena ada cahaya kilat dari luar.”
“Ok kalo gitu. Aku usahakan minta bantuan sama salah satu dari mereka.” kataku pasrah.
“Minimal 3 orang dari Bright dan kamu punya sahabat cewek kan? Siapa itu namanya?”
“Camel ?!”
“Nah ya itu maksudku. Ajak dia ikut, mau nggak mau harus mau. Ini misi penting dan harus ada pengorbanan.” jelas kak Iskar dan tertunduk.
“Pengorbanan?” tanyaku bingung.
“Lupakan. Tau rumah Orchid?”
“Tau.”
“Naik motor, sekarang. Kita ke rumahnya sekarang, dan kakak ke lapangan basket.” kata kak Iskar sembari bangkit dari bangku taman.
“Ngapain?”
“Udah ayo, cepet.”
“Kamu di sini. Jelasin ke Orchid semuanya, dan bujuk dia biar mau ikut. Please!”
“Itu perintah atau…”
“Perintah.” jawab kak Iskar tegas.
“Baiklah. Terus, kakak mau kemana?”
“Ke lapangan basket. Menemui someone.”
“Hati-hati, kak.”
“Iya. Usahakan, Orchid mau ikut.”
“Iya.”
“Bye…” kata kakak sembari mengelus-elus rambut panjangku yang tergerai dan mencium keningku. Lalu cabut…
  Perlahan aku masuk rumah Orchid. Dengan gerakan ragu dan takut, aku ketuk pintu Orchid saat sampai di depan pintu rumahnya.
“Grays ?!”
“Hai…”
“Ada apa kamu kesini?” tanya Camel, “Eh, sorry aku nggak sopan. Masuk dulu, yuk! Kita ngobrol di dalem.”
“Iy… Iya.”
 “HAH ?!” teriakku kaget.
“Kenapa? Kenapa, Grays?” tanya Camel khawatir.
“Ke…Kenapa kamu nggak bilang ke aku dari awal?”
“Yeah, aku kan nggak tau kalo kamu tinggal di sana.”
“Ya, sih. Tapi jangan bilang-bilang kalo aku tinggal di sana ya? Ini SECRET.” pintaku.
“Iya.”
“Kamu mau kan bantuin aku?”
“Tapi… Aku nggak yakin.” jawab Camel menunduk.
“Tapi, kamu mau kan?”
“Iya, aku akan bantuin kamu.”
“Makasih ya, Camel.”
“Iya, sama-sama.”
      JJJEEEGGGLLLEEEKKK. Pintu rumah Camel terbuka…
“Loh, kok???” kata Camel terkejut saat melihat kak Iskar dan bersama keluarga Bright.
“Tunggu… Kok cuma bertiga?” ucapku dengan mulut ternganga.
“Alec, udah duluan ada disana.” ucap Ricky, ketua atau anak paling tua dari kelompok mereka.
“Kemana?”
“Rumah itu…” jawab Jake.
“Gimana, apa Orchid mau ikut?” bisik kak Iskar padaku.
“Mau. Ternyata rumah itu terkenal dengan angkernya, belum pernah ada yang pernah masuk ke rumah itu setelah insiden matinya saudara kandung Alec.” jawabku.
“Dan Orchid juga tau?”
“Yeap…” kataku membenarkan.
“Good. Sekarang kita berangkat.” ucap kak Iskar.
“Aku tadi kelepasan bilang, kalo kita tinggal di sana.” kataku takut.
“Nggak pa-pa. Yang penting, misteri ini terpecahkan, udah cukup.”
      Semua orang yang ada di ruang tamu Camel, keluar menuju halaman.
“Ngapain kamu?” tanya kak Iskar saat aku mau naik motornya.
“Naik lah.”
“Nggak. Itu buat Orchid yang jok belakang. Sana, kamu ikut motor Ricky.”
“Tapi, kak???”
“Orchid, kamu ikut aku.” kak Iskar nyuekin aku.
“Makasih, kak. Aku ikut Jake aja.” tolak Camel.
“Rasaian LO !!! Dia nggak mau.”
  Kak Iskar turun dari motor, narik tangan Camel dan menyuruh Camel duduk di jok belakang. Nggak lama, tangan Camel udah melingkar di tempat antara perut dan dada kak Iskar… Oh My God !!! Aku tau apa maksudnya… kataku dalam hati.
“Hey, ngelamun !!! Cepat naik, kita nggak punya banyak waktu.” kata kak Iskar menyadarkan lamunanku.
  Tanpa mengeluarkan kata-kata aku langsung naik ke jok motor Ricky, dan memakai helm dan jaket hitam yang dia berikan padaku… Waow… Teriakku, saat tanganku di tarik oleh Ricky dan di lingkarkannya tangan di tempat sama persisi dimana tangan Camel berada di tubuh kak Iskar… Gini rasanya kalo tubuh kita ada di tubuh cowok begitu dekat, semotor apa lagi tangan kita memeluknya dari belakang… Oh My God !!!
 “Alec !!! Don’t touch !!!” teriak Ricky. Kami semua pun langsung menghampiri Alec, dan refleks aku memeluknya dari belakang.
“Lukisan itu danger.” ucapku lirih, masih mememluknya.
“Ehhmmm…” Deham sengaja yang aku dengar dari bibir kak Iskar, Camel, Jake, Discos, kecuali Ricky.
“Sorry. Refleks.” melepaskan pelukan darinya.
“Dia ada di kamar, Ric.” kata Alec tanpa melihat kami, nada datar.
“Ayo kita ke kamar atas.” ajak Jake.
   Aku mengikuti langkah kak Iskar, tapi gagal.
“Don’t go !!!” larang Alec sembari menarik tanganku seketika.
  Aku balik badan, kutatap dengan penuh tanda tanya. Dia menarikku dengan cepat dan seketika tidak ada satu detik aku sudah ada dalam pelukannya. Ya tuhan, nih cowok tinggi banget dari deket… ucapku dalam hati.
“Terlalu bahaya untukmu.”
“Aku ingin ikut, di sana ada kakak kandungku dan sahabatku. Aku nggak mau mereka…” kataku terhenti. Telunjuknya menutup bibirku. Matanya menatap dengan kosong, perlahan-lahan wajahnya semakin dekat denganku…
    GLUDAK !!!!
“Apa itu?” kataku dan menjauh dari tubuh Alec.
“Waktunya kita bergerak…” jawab Alec tanpa panjang lebar. Tanganku langsung di tarik menuju anak tangga yang terlihat tua, rapuh dan penuh usang…
      Sesampainya di lantai dua …
“Ada apa?” baru kali ini ku dengar suara Alec begitu khawatir. Padahal sejak aku datang dan yang lain datang, sikapnya datar, dan suaranya juga datar.
“Anak itu… Anak itu menginginkan dia.” jawab Jake, menunjukku.
“Baik. Aku akan menemui dia, sekarang juga.” kataku dan membuat semua wajah tersentak.
“Are you crazy?” akhirnya, Discos mengeluarkan suara. Dari tadi dia diam membeku sejak di rumah Camel.
“Kata kak Iskar di tempat ini akan ada pengorbanan. Dan aku tau, aku yang harus mengorbankan jiwaku…” kataku terhenti. Alec tiba-tiba memelukku dari depan. Pelukan ini pelukan tidak ke relaan kalau aku merelakan diri ke anak itu.
“Tidak. Aku tidak mau kedua kalinya kehilangan cewek yang aku sayangi hanya karena di rebut sama Top.” kata Alec, yang masih ada di pelukanku. “Aku akan pergi menemuin Top dan mengakhiri permainannya.” tukas Alec, melepaskan diri dari pelukanku.
“Top? Siapa dia?” tanyaku.
“Dia adalah adik Alec yang meninggal karena rumah ini terbakar. Dan lukisan itu adalah lukisan Top (hantu kecil) dan adik perempuannya.” jelas Ricky.
“Lalu, kemana anak perempuan itu sekarang?” tanyaku lagi.
“Dia ada di rumah sakit…” ucapnya hilang, “Jiwa.”
“HAH ?!”
“Nanti bahasan ini di lanjutkan, aku harus menenmui Top dan mengakhiri semua ini.” sambung Alec.
“I’m with you.”
“Don’t.” bentak Alec.
“Kamu bilang kamu sayang aku, kamu mau mati demi aku? Aku akan ikut denganmu menghadapi arwah adikmu itu. Aku akan ada disamping kemana pun kamu pergi dan berada. Aku rela mati demi kamu.”
“Ok. Kamu boleh ikut.”
“Grays…” ucap Camel.
“Iya ?!”
“Hati-hati…” pesan Camel, memelukku.
“Iya.”
  Wajahnya terlihat akan menangis, tapi tak lama kepalanya di sandarkan di bahu kak Iskar. Aku pun pergi menemui arwah itu dengan Alec, (Top si hantu kecil itu).
“Gray? Alec?”. Kedatanganku dan Alec membuat semua orang yang melihat tersentak dan begitu kaget.
“Aku selamat dan permainan selesai. Lebih baik sekarang kita mengubur yang ada di kantong itu.” Ucapku sambil melirik ke kantong yang ada di tangan kiri Alec.
“Bagaimana mungkin?”
“Kita keluar dari sini dulu. Kita telfon polisi untuk menuntaskan kasus ini.” kata Alec bijak.
  Camel memelukku dan menggandeng tanganku. Kami semua keluar dari rumah ini perlahan…
“Bagaimana bisa ceritanya?” tanya Camel menatapku penuh tanda tanya.
“Aku ceritakan semuanya setelah itu di kubur. Karena aku udah janji sama dia.”
  Kita semua keluar dari halaman rumah itu dan segera ke pemakaman terdekat. Kak Iskar tidak pulang ke rumah, dia ikut mengubur dan karena memang penasaran apa yang ada di dalam itu…
      Sampai di pemakaman…
Karena saat itu siang hari, jadi aku dan Camel nggak was-was karena nggak gelap dan banyak cahaya matahari.
“HAH ?!” teriak Camel.
“Sssstttt. Jangan komentar dulu. Aku dan Alec janji akan jelasin semuanya kalo ini udah selesai di kubur.”
 Suasana hening, diam. Berdoa masing-masing untuk mendoakan mayat yang tinggal tulang belulang itu…
   Selasai mengubur tulang belulang itu, kita pergi dari pemakaman. Posisi masih sama saat dari rumah tua ke sini. Aku naik motor bersama Alec dan Camel masih mesra sama kak Iskar.
“Hebat… Hebat banget…” puji kak Iskar.
“Memang, rumah itu dulu rumahku dan keluargaku tinggal. Namun, tanpa kita sadari akan ada insiden berbahaya itu, kita tetap nekat berada disana meskipun kita tau akan ada yang celaka. Top adalah adik laki-lakiku semata wayang, dia adik yang baik, namun sayang, hidupnya nggak lama dan dia mati juga mengenaskan. Dari insiden itu, aku, Alice (adik perempuan Alec) papa dan mama yang selamat karena api itu membakar dengan cepat dan kamar Top yang terkena api dengan cepat. Rumah itu hangus dan saat di lacak polisi, tidak ada mayat satu pun. Satu tahun setelah insiden itu terjadi, ada yang tinggal di sebelah rumah itu dan dia juga sekolah denganku. Aku suka dengan anaknya yang tinggal di sebelah rumah ku dulu, namun dia mati gara-gara arwah Top yang bergentayangan. Cewek itu nekat masuk rumah itu karena dia penasaran dengan sejarah rumah itu.” jelas Alec menundukkan kepala.
“Aku… Aku ikut prihatin.” ucapku mengelus-elus pundaknya.
“Tidak ada yang perlu di prihatinkan.”
“Lalu, bagaimana bisa Alice, ada di rumah sakit jiwa?” tanyaku lirih.
“Dia gila karena dia tau Top meninggal karena terbakar di rumah itu. Top adalah anak cowok yang paling kami sayangi di keluarga kami. Dia anak cowok yang hebat, dan banyak yang sayang sama dia karena sikapnya yang pantas untuk di puji dan di tiru.” jelas Alec.
“Lalu, apa kamu nggak sedih saat cewek yang kamu sukai itu meninggal?”
“Awalnya iya, tapi sekarang tidak. Karena, aku udah punya penggantinya. Yaitu kamu…” Alec menatapku, dan menarikku ada di pelukannya.
“Grays, aku restui kamu sama dia… Sebenarnya, keluarga Bright bukan musuh kita. Itu hanya cerita karangan ngawurku. Justru keluarga Bright adalah sahabat keluarga kita. Aku berbohong karena aku ingin kamu dekat sama Alec dengan cara yang berbeda. Tapi ternyata sama aja, yang aku inginkan tidak terwujud.” sambung kak Iskar.
‘Ahhh, dasar kak Iskar !!! Nyebelin banget sih. Huuh’ umpatku dalam hati. “Camel, aku restuin kamu sama abangku. Kalian cocok, kok. Sumpah deh.” ucapku.
“Apa’n sih. Jangan gitu donk, pipi ku merah nih.”
 Semua tertawa geli…
“Grays, aku bangga sama kamu. Kamu bisa menahan dan mengajak ngobrol arwah. Hebat. Aku takjub !!!” puji Ricky.
“Dan kalo saat itu nggak ada Alec juga, aku nggak akan tau maksud arwah itu. Karena dia pake bahasa lain, anehnya Alec tau.”
“Karena itu bahasa yang aku pake saat aku dan adikku dulu komunikasi.”
“Yeah… Semua berkahir bahagia… Alec dengan Grays, Camel dengan Iskar. Dan kita bertiga -Jake, Discos, Ricky- nggak tau sampe kapan ng-jomblo gini.” kata-kata Discos membuat semua orang di ruang tamu rumahku tertawa bersama.
  Dan saat itu juga, aku ngeliat tawa Alec begitu manis dan menakjubkan, aku melihatnya masih dalam pelukannya. Dia makin keren kalo ketawa. Aku makin sayang sama Alec …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar